Sabtu, 15 Oktober 2011

Menggantung Harap, Menanti Pelangi

Dibatas senja yang murung aku hanya menggantungkan harapan pada malam, sebenarnya aku telah menggenggam siang, namun entah mengapa siang hanya memberikan mendung yang tiada menepi, ketika malam merapatkan dan menarik senja ke peraduan lembutnya bak alunan piano yang menggiring nada-nada penghapusan kesunyian, klasik bukan. Begitulah sang malam menarik ulur rindu senja, tidak ada yang lebih puitis selain pertemuan hangat yang lebih dari sekedar sapaan.
Hambar, basi, namun ini bukan suatu kesalahan. Siang, senja, dan malam tetap berada dalam satu orbit dan berada di lingkar khatulistiwa, namun apakah suatu pelanggaran ketika senja lebih memilih mendekap malam, dan siang hanya sekedar senja takut bila tak muncul di penghujung siang, walaupun malam akan tetap datang, kadang memutar balik logika yang terus mendesak tanya, siapa yang lebih memilih senja datang, siang atau kah malam?, lantas  jika asas pemutar balikan fakta mempertanyakan pada senja, siang atau kah malam? Atau memang senja tak diharapkan keduanya, jawab senja lebih baik tidak pernah mengenal siang dan malam.
Betapa labil ketika senja hendak tak menghiraukan ke duanya, sempat beranjak untuk sama sekali tak muncul diantara keduanya, senja terikat siang, sedangkan senja menghawatirkan malam, segalanya memang akan terhenti di jarum angka 6, namun kisah ini tidak akan terhenti selama siang dan malam memiliki kadar kemunculan yang sama, dan senja hanya sekedar penutup dan pemuka.
Lalu untuk apa ada senja, ketika mengingat siang dan malam senja hanya tau keterikatan dan kegembiraan, hanya saja sisi mana yang bisa melihat ini adil atau kah tidak? Senja berdiri dalam satu waktu yang adil karna berada diantara keduanya, namun bisa kah keduanya bersikap adil memotong senja seperti yang dilakukan seorang penulis sastrawan Seno Gumira Ajidarma, dia berkata, Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu. (Sepotong Senja untuk Pacarku - SGA). Terlalu mustahil untuk senjaku, bukan kah kata mustahil pantas untuk masa lalu, ketika kita berada dalam detik ini maka mustahil detik ini berada di masa lampau.
Akhir-akhir ini histori kemunculan senja adalah tak menentu, senja hanya takut sehingga ia mendatangkan tangisan untuk siang, dan purnama di tengah malam kesepian. Terlalu memaksakan jika senja harus tetap mendampingi siang, dan terlalu kurang ajarkah jika senja memilih malam dan meninggalkan siang, senja dan malam sejatinya hanya sekedar berguru, namun dinginnya terlalu merubah suasana, dalam pengahrapan nya senja hanya sedang mengharapkan pelangi yang membuat lebih bisa meninggalkan siang dan malam, jika pilihan terlalu membuat senja terlempar jauh dari batas khatulistiwa dengan perputaran yang berubah, lebih baik senja tidak pernah mengenal siang dan malam.
Teruntuk siang teruntuk malam, terlalu agung mengharap senja yang muncul hanya dalam berapa waktu, sebenarnya dalam doanya senja mengharap keduanya, namun terlalu angkuh jika senja merengkuh dua waktu yang panjang, siang dan malam seandainya saja Tuhan tidak pernah mengutus senja diantara dua waktu yang bertolak, kalian akan tetap ada lebih baik mengharap pelangi kemunculannya hanya satu waktu yang dinanti.
Terimakasih untuk siang, untuk malam, berbisik dalam dusta senja tidak pernah mengharapkan kalian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar