Selasa, 22 Maret 2011

Polemik Televisi dan Kontroversi Film

Ketika keselektifan Bangsa Indonesia dipertanyakan, dimana?mengapa?apa?siapa?kapan? dan bagaimana menjadi pertanyaan besar akan keselektifan Bangsa Indonesia yang dulu sebenarnya telah menjadi komitmen Bangsa Indonesia dalam menerima masuknya pengaruh baru.

Tapi, Dewasa ini keselektifan itu seperti diseret badai yang tak kunjung reda keselektifan itu seakan tak pernah ada, jati diri seakan terbengkalai.
Kehilangan jati diri sepertinya telah menjadi hal yang lumrah bagi keadaan saat ini, mungkin pernyataan itu adalah paradigma yang harus kita rubah karena jati diri adalah cerminan yang harus kita pertahankan.

Pengaruh budaya luar telah menghapus keselektifan Bangsa kita, menghapus jati diri yang telah kita bangun dan pertahankan dari dulu. Tayangan-tayangan televisi kini telah didominasi oleh acara yang kurang mendidik dan kurang berbobot, apalagi hampir seluruh acara yang tayang ditelivisi ditonton oleh anak-anak yang masih dini.

Hampir 90% tayangan yang kurang berbobot lahir di kanca pertelevisian Indonesia dalam era reformasi ini, anarkisme, sex, dan aspek-aspek negatif hendak mewarnai tayangan-tayangan televisi dan juga kanca perfilman, hal semacam kode etik, undang-undang, dan aturan-aturan norma dan moral yang ada seakan berlalu, hanya didengar tanpa diterapkan.

Meninjau sinetron-sinetron dan beberapa tayangan televisi lainnya kini sudah mulai menyiapkan ancang-ancang dari berbagai terpaan polemik media ataupun kritikalisasi publik, mereka mulai menggunakan pengacara, sebenarnya hal apa yang menyebabkan banyaknya kontroversi, penolakan terhadap tayangan film di Negara kita? Banyak hal yang bisa kita tinjau mulai dari konstruksi pesan yang tidak efektif, pelanggaran nilai dan norma, dan mulai tak diliriknya kode etik yang berlaku juga para pengawas media seperti misalnya KPI.

Film-film yang lahir di Indonesiapun mencantumkan label Sensor dan jelas segmentasi untuk penerapan usia. Namun, pada kenyataannya bisa kita lihat konsumen perfilman untuk kategori film dewasa rata-rata adalah anak-anak berumur 12-16 tahun, padahal jelas bahwa film tersebut tidak dianjurkan untuk anak dibawah 17 tahun, menanggapi persoalan tersebut kurangnya pengawasan dari sarana atau tempat penayangan film itu berlangsung, memang sulit dilakukan karena pada kenyataannya anak di bawah umur pada masa modernisasi ini berpenampilan dewasa sehingga pengawasan bisa saja tidak terkendali, tapi yang disayangkan mengapa tidak ada pencegahan dengan memperlihatkan KTP terlebih dahulu untuk kategori film dewasa, bukan suatu hal yang sulit untuk menciptakan tayangan televise dan film yang sehat.

Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika hal ini terus berlanjut, pertelevisian kita mulai didominasi oleh tayangan yang dirasa kurang berbobot, maraknya tayangan sinetron, acara musik dan reality show, bahkan ketidak berbobotan itu mulai muncul di program-program hiburan baik hiburan keluarga ataupun umum, penggunaan bahasa atau sikap yang dapat mempengaruhi sikap kognitif, afektif, dan konatif dari khalayak atau konsumen, label untuk segmentasipun kini mulai diabaikan, tayangan-tayangan yang seharusnya ditayangkan pada waktu anak di bawah umur beristirahat, sekarang ini malah menjadi dikonsumsi anak di bawah umur ketika kegiatan menonton dilakukan.

Menyoal tentang masalah akan dihapuskannya perfilman luar negeri di Negara kita karena pajak yang mahal, dan apakah tanpa perfilman luar negeri perfilman di Negara kita akan semakin maju dan menuju perfilman berkualitas? Memiliki pembeda itu memang diperlukan, tetapi tidak untuk meniru aspek-aspek negatifnya, pada kenyataannya film-film luar dalam tayangannya bisa dikatakan ada saja adegan-adegn vulgar. Namun, bisa kita lihat alur yang dibuatnya tidak sembarang, terkonsep dan memiliki konstruksi pesan yang bagus pula, makadari itu khalayakpun bisa menerima film tersebut secara efektif. Pada kenyataannya, film-film di Negara kita belum bisa melakukan strategi tersebut.

Makadari itu, polemik televisi dan kontroversi film perlu peran serta aktif dari kita sebagai khalayak dan pihak-pihak terkait bisa menerima saran, kritikalisasi dari kami sebagai khalayak aktif untuk menunjang keberlangsungan tayangan-tayangan televisi dan perfilman Indonesia yang berkualitas, bergunakan lembaga dan badan pengawas media agar terkendali, mengikuti aturan perundang-undangan, kode etik, dan aturan norma dan moral, tidak ada pencekalan, perbedaan paham, perpecahan budaya, dan penyalahgunaan norma.

Mari sajikan tayangan berbobot, bernilai moral dan edukatif, gunakan label, dan rancang agenda tayang dengan tepat sesuai dengan label yang ditentukan, melahirkan tayangan dan film yang bekualitas itu sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar