Pers di Indonesia memang telah memasuki era reformasi dimana kebebasan pers terbuka lebar dalam naungan batasan-batasan etika keprofesian, namun kenyataannya intimidasi dari kebebasan pers mulai menyeruak kembali di ranah para buruh tulis dan para pencari berita ini.
Sejenak memundurkan mesin waktu, pada zaman rezim Soeharto yang menganut sistem pemerintahan demokrasi pancasila ini, keberadaan pers seperti berada dalam kecaman tangan pemerintah, sistem pemerintahan dengan model demokrasi ini malah menjadi pemerintahan yang otoriter, pers seakan dikendalikan di bawah pemerintahan. Dibatasi oleh berbagai keurgenan pemerintah. Sebenarnya pengekangan pers telah ada sejak tahun 1846 pada zaman kolonial Belanda yang mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia , Semarang , dan Surabaya . Seketika itu juga pro dan kontra bermunculan, seakan bagi kubu pro keberadaan surat izin ini adalah sebagai kontrol pers.
Keberadaan dan status pers setelah Indonesia merdeka memang sangat jauh berbeda dengan keadan pers pada masa penjajahan, karena pada masa itu warga Indonesia enggan untuk membaca surat kabar karena isinya menjadi kebutuhan para penjajah dengan bahasa yang tentunya bukan bahasa kita. Pembredelan terhadap pers pertama kali adalah pada pemberontakan peristiwa Madiun yang digandrungi oleh PKI Muso, kata-kata dari pidato Soekarno yang memberikan pilihan memilih Presiden atau PKI, hal ini menjadi headline di beberapa surat kabar, yang akhirnya terjadi pembredelan.
Memasuki orde baru tak ada perubahan, pers yang berada pada saat itu benar-benar berasa di area intimidasi, syarat yang menghambat kebebasan pers pada masa itu diantaranya, pers yang berdiri pada saat itu harus memiliki SIUUP, adanya sarana organisasi tunggal pers dan wartawan, sensor terhadap pers, dan satu lagi yang cukup menjadi tekanan bagi pers pada saat itu yaitu praktek intimidasi.
Orde baru telah menciptakan alur kontrol efektif terhadap pers melalui berbagai tekanan terhadap sensor terhadap pers, peringatan, teguran dan pembredelan. Pada tanggal 21 Juni 1994, tekanan yang dilakukan pemerintah menimbulkan perlawanan pemicunya adalah pembredelan terhadap tiga media terkemuka pada saat itu, berbeda dengan pembredelan yng biasa terjadi di Negara kita, pembredelan tiga media ini menimbulkan reaksi yang cukup membuat masyarakat geram. Wartawan dan Mahasiswa dan aktivis melakukan demonstrasi yang pada akhirnya melahirkan satu deklarasi yang melahirkan AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia ).
Memasuki era reformasi kesempatan pers untuk mengeksplorasi kebebasan walaupun kenyataannya setelah kebebasan ini lahir yang ada bukan eksplorasi tapi eksploitasi, namun memang harus di akui keberadaan media yang memberi wadah untuk pers ini telah menjadi sarana bisnis yang menjadikan pers dituntut untuk bersaing tetapi tetap berdiri dengan batas toleransi masyarakat. Beberapa Intimidasi pers lahir baru-baru ini di tengah kebebasan pers yaitu tiga stasiun televisi lokal di Kediri , Jawa Timur dan juga Intimidasi terhadap empat wartawan di Garut, yang kedua kasus tersebut dilakukan oleh aparat pemerintahan.
Hal ini, tidak akan terjadi jika saja pers dan pemerintah memiliki kesadaran untuk dapat berdiri sejajar bersama-sama untuk saling menjalankan kewajibannya masing-masing, dimana tugas pers sebagai penyampai opini, aspirasi dan segala yang akan disampaikan rakyat kepada pemerintah, dan pemerintah menyapaikan solusi untuk rakyat melalui pers juga, bukankah pers dan pemerintah berdiri sejajar dalam empat pilar pemerintahan? Keberlangsungan peran pemerintah dan pers akan terjalin dengan baik jika keduanya mampu mendobrak segala perbedaan diantata keduanya, perbedaan paham dan pendirian bukanlah hal yang dapat memisahkan keduanya, begitu pula dengan pemerintah agar bisa lebih merangkul pers yang tugasnya membantu keberlangsungan Negeri ini yaitu sebagai penyalur amanah rakyat, dan pers mengatur atau self regulated, sesame insan pers saling mengingatkan, mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga Dewan Pers atau berbagai lembaga pers lainnya sebagai pengawas yang diikuti teguran atau peringatannya.
Yang terpenting adalah keduanya tetap memegang teguh etika profesi, professional, dan profesionalisme, saatnya pers dan pemerintahan memiliki tujuan yang sama walaupun realisasinya berbeda-beda.(phanie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar