Minggu, 15 Mei 2011

Propaganda Pembersihan Title “Teroris” Pada Umat Islam dalam Film Tanda Tanya (?)

BAB I PENDAHULUAN
         1.1     Latar Belakang

       Propaganda kini tidak hanya disampaikan melalui produk atau politik, seiring perkembangan dunia perfilman, propaganda pun menjadikan perfilman sebagai sarana propaganda.
            Di Indonesiapun film mulai dijadikan sebagai sejarah propaganda salah satunya adalah film Karya Hanung Bramantyo yang berjul Tanda Tanya dengan tag line Masih Pentingkah Kita Berbeda?
            Isi dari film ini sendiri pada akhirnya mempropagandakan pengahapusan title “teroris” terhadap umat islam, dengan peran Soleh (Reza Rahardian) yang berperan sebagai Banser NU yang menyelamatkan puluhan umat katolik yang sedang merayakan kelahiran Isa Almasih dari serangan bom yang disimpan di dalam gereja, Ia menyelamatkan umat katolik dengan menewaskan dirinya sendiri yang membawa lari bom tersebut hingga meledak.
         Title “teroris” yang sekarang ini kerap menjadi julukan bagi umat islam melekat jelas, setelah sederetan bom bunuh diri terjadi di Indonesia yang menewaskan tidak hanya rakyat Indonesia, yang setelah terungkap pelaku bom ini beragamakan Islam sehingga julukan itu seakan menjadi simbol bahwa keberadaan umat islam adalah sebagai teroris.
            Film yang menurut Sutradara ini merupakan kehidupan berbagai perbedaan pandangan hidup dan agama, pada akhirnya mereka semua menemukan satu kesamaan tentang hidup yang lebih baik dalam tatanan kebersamaan dan toleransi. Inilah potret Indonesia seutuhnya, dimana sikap saling mengerti dibutuhkan dalam memandang keragaman yang ada.
            Namun, meninjau dari beberapa adegan antara Ping Hen (Rio Dewanto) dengan Orang Islam, dan Sholeh (Reza Rahardian) ada kata-kata yang jelas-jelas Ping Hen menjuluki Orang Islam sebagai teroris, hingga perdebatan pun terjadi, yang pada akhirnya dijawab dengan adegan Sholeh menyelamatkan puluhan orang di dalam gereja, ini menyimbolkan proses propaganda penghapusan title teroris terhadap umat islam.
            Film ini mendapat sambutan baik di masyarakat, namun mendapat gertakan kontra juga dari pihak Banser NU yang menyatakan bahwa dalam film tersebut, Banser versi Hanung digambarkan sebagai sosok yang mudah cemburu dan dangkal pengetahuannya.

1.2    Karakteristik Pemain
§    Reza Rahadian sebagai Soleh
            .
           


Seorang lelaki pengangguran yang hidup dalam impiannya untuk menjadi seseorang yang berarti, termasuk menjadi pahlawan bagi istri dan kedua anaknya, namun belum mendapatkan jalan yang baik. Soleh akhirnya menjadi anggota banser NU



§    Revalina S Temat sebagai Menuk

            
Seorang perempuan yang soleha dan cantik, istri dari Soleh. Cinta Menuk kepada suaminya begitu mendalam walaupun suaminya tidak memiliki pekerjaan. Menuk memilih Soleh daripada Hendra, anak dari Tan Kat Sun yang keturunan Tionghoa, karena Soleh memeluk agama yang sama dengannya, yaitu Islam. Untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, Menuk bekerja di di restoran Kanton Pak Tan.


§    Agus Kuncoro sebagai Surya
Seorang pemuda yang sedang berjuang meraih impian menjadi bintang film dengan memerankan peranan-peranan kecil. Surya menjadi pacar Rika setelah Rika bercerai dengan suaminya. Surya mengetahui jika kondisi ini semakin memojokan Rika pada posisi yang tidak menyenangkan di mata para tetangga sekitar. Walaupun seorang Muslim, Surya berhasil memerankan dengan baik beberapa peranan yang terkait dengan agama lain, termasuk menjadi Yesus pada acara Jumat Agung di gereja

§    Endhita sebagai Rika

           
 Seorang janda beranak satu, yang baru saja berpindah agama. Rika memiliki toko buku yang sekaligus menjadi rumah tinggalnya. Karena status janda dan keputusannya pindah agama, Rika sering mendapat cemoohan para tetangga, namun Rika tetap pada pendiriannya. Rika juga harus menghadapi protes dari anaknya, Abi dan ibunya atas keputusannya tersebut



§    Rio Dewanto sebagai Hendra

            
Anak dari Tan Kat Sun dan Lim Giok Lie yang sedang mencari jati diri. Dalam proses mencari jati diri tersebut, dia selalu bertentangan dengan kedua orangtuanya, termasuk dalam menjalankan usaha restoran. Hendra jatuh cinta pada Menuk dan merasa sakit hati berkepanjangan karena Menuk lebih memilih Soleh yang pengganguran dikarenakan Soleh seorang Muslim.


§    Hengky Sulaeman sebagai Tan Kat Sun

            


Ayah dan pengusaha restoran masakan Cina. Dalam kondisi kesehatannya yang tidak baik, pak Tan selalu bersikap positif, namun merasa jengkel dengan sikap anaknya yang tidak peduli terhadap usaha keluarga.






Pembahasan

A.   Sejarah Propaganda
            Propaganda (dari bahasa Latin modern: propagare yang berarti mengembangkan atau memekarkan) adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya.
            Propaganda kadang menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan dimana umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan yang dapat menghasilkan pengaruh tertentu, atau lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah untuk mengubah pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran untuk kepentingan tertentu.
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda.
         Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan komunikator dari komunikannya. Namun menurut Ellul, komunikator dalam propaganda sebenarnya merupakan wakil dari organisasi yang berusaha melakukan pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Sehingga dapat disimpulkan, komunikator dalam propaganda adalah seorang yang ahli dalam teknik penguasaan atau kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme alat kontrol sosial.


B.   Sejarah Film

28 Desember 1895, untuk pertama kalinya dalam sejarah dibuat oleh Lumiere bersaudara, inventor terkenal asal Perancis dan pelopor industri perfilman. Tempat pemutaran film itu adalah di Grand Cafe di Boulevard des perfilman, sebuah film cerita dipertunjukkan di depan umum. Film ini Capucines, Paris. Sekitar 30 orang datang dengan dibayar untuk menonton film-film pendek yang mempertunjukkan kehidupan warga Perancis.
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa. Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan Widjaya (wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior), Ipik Tanojo (Bali Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan (pengamat film), Noorca M. Massardi (wartawan film senior), Yudhistira Massardi (Gatra), Leila S. Chudori (Tempo), Frans Sartono (Kompas), Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman (Suara Pembaruan), Taufiqurrahman (The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika (Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen), Telni Rusmitantri (Cek n Ricek), Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang Prakasa (Movie Monthly), Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo), dan Ekal Prasetya (Seputar Indonesia)
Sesungguhnya, pada awal 1885, telah diproduksi gambar bergerak pertama namun, film karya Lumiere bersaudara yang dianggap sebagai film sinema yang pertama. Judul film karya mereka adalah “Workers Leaving the Lumiere Factory.” Pemutaran film ini di Grand Cafe menandai lahirnya industri perfilman.
Munculnya kebersaingan film di kancah perfilman Indonesia semakin semarak, kualitas tayangan sebuah film yang lebih diakui dibandingkan tayangan-tayangan sinetron di televisi, melahirkan cukup banyak film bergengsi di tanah air. Kualitas dari isi pesan maupun penayangan menjadi titik tolak sebuah film, beberapa genre film yang disajikan di Negara kita ada yang sudah menayangkan tayangan yang berkualitas, namun dampak yang menjadi hal urgent di Negara kita adalah kebersaingan film yang dirasa tidak sehat, berbagai film dengan tayangan yang kurang berbobot mewarnai ranah perfilman tanah air.
Keberpihakan para konsumen film di Indonesia menyebabkan pangsa pasar film yang kurang berbobot memiliki rating yang tinggi, seakan telah menjadi hal yang lumrah dengan tayangan-tayangan tersebut, sehingga film yang tidak sehat tetap bertahan. Kini media telah menjadi lahan bisnis termasuk ranah perfilman yang berdiri di bawahnya, isi pesan dan penayangan dalam sebuah film seakan terhapus dengan adanya rating, seperti istilah rating is king maksudnya posisi rating seakan menjadi raja karena kiprah keberhasilan sebuah film saat ini terletak dari rating yang merupakan antusiasime keberpihakan khalayak dengan adanya tayangan tersebut.
Film merupakan media komunikasi massa yang mampu menimbulkan dampak pada masyarakat, karena film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message). (Sobur, 2004:127)
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai system tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan music film. Sistem semiotika yang labih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. (Sobur:2004:128)

C.   Sejarah Propaganda Film

        Sebuah film propaganda adalah sebuah film, baik produksi dokumenter-gaya atau skenario fiksi, yang dihasilkan untuk meyakinkan penampil suatu titik politik tertentu atau mempengaruhi pendapat atau perilaku orang, sering dengan menyediakan sengaja menyesatkan, konten propaganda.
            Film propaganda paling awal dikenal adalah serangkaian film bisu pendek yang dibuat selama Perang Amerika Spanyol tahun 1898 yang diciptakan oleh Vitagraph Studios. Salah satu film fiksi awal yang akan digunakan untuk propaganda adalah The Birth of Nation, meskipun itu tidak diproduksi untuk tujuan indoktrinasi. Pada tahun 1918, Charlie Chaplin dibuat, dengan biaya sendiri, The Bond, sebuah film propaganda komedi untuk Perang Dunia I. Pada tahun-tahun setelah Revolusi Oktober tahun 1917, pemerintah Soviet disponsori industri film Rusia dengan tujuan membuat film propaganda.
         Selama Perang Dunia Pertama kampanye film rahasia dibawa ke Amerika Serikat. Dalam upaya untuk mengendalikan opini publik di negeri ini netral penting, pejabat Jerman mendirikan Amerika Koresponden Perusahaan Film. Sebagai seorang pria depan untuk organisasi ini, fotografer Albert K. Dawson telah terpasang ke tentara Jerman dan Austria. Dawson merupakan salah satu koresponden film yang paling aktif dan berani dalam Perang Besar.
              Perkembangan bioskop Rusia pada tahun 1920 oleh pembuat film seperti Dziga Vertov dan Sergei Eisenstein melihat kemajuan yang cukup besar dalam penggunaan film sebagai alat propaganda, namun juga bertugas untuk mengembangkan seni pembuatan film. Eisenstein's film, khususnya The Potemkin Battleship, dipandang sebagai masterworks bioskop, bahkan ketika mereka memuliakan cita-cita Eisenstein's Komunis.
         Leni Riefenstahl pada tahun 1930-an dan 1940-an, yang melihat bangkitnya negara-negara totaliter dan Perang Dunia Kedua, adalah bisa dibilang "Golden Age of Propaganda".  Selama ini Leni Riefenstahl, seorang pembuat film yang bekerja di Nazi Jerman, menciptakan apa ini bisa dibilang film propaganda terbesar sepanjang masa: Triumph of the Will, sebuah film ditugaskan oleh Hitler untuk mencatat 1934 rally Partai Nazi di Nuremberg. Meskipun subjek kontroversial, film ini masih diakui hari ini untuk pendekatan berpengaruh yang revolusioner untuk musik menggunakan dan sinematografi.
      Di Amerika Serikat selama Perang Dunia II, sutradara Frank Capra menciptakan serangkaian tujuh-bagian dari film untuk mendukung upaya perang berjudul Why We Fight. Seri ini dianggap sebagai sorot dari genre film propaganda. film propaganda lainnya, seperti Detik Selama Tiga puluh Tokyo dan Casablanca, telah menjadi begitu baik-dicintai oleh pemirsa film yang mereka dapat berdiri sendiri sebagai film dramatis, selain dari peran aslinya sebagai sarana propaganda.
         Banyak film-film perang yang dramatis di awal 1940-an di Amerika Serikat dirancang untuk menciptakan pola pikir patriotik dan meyakinkan pemirsa bahwa pengorbanan perlu dilakukan untuk mengalahkan "musuh." Salah satu konvensi dari genre ini adalah untuk menggambarkan sebuah salib ras dan sosio-ekonomi-bagian dari Amerika Serikat, baik pleton di garis depan atau pelatihan tentara di atas dasar, yang datang bersama-sama berjuang demi kebaikan negara. Di Italia, pada saat yang sama, sutradara film seperti Roberto Rossellini memproduksi film-film propaganda untuk tujuan serupa.
            Selama tahun 1960-an, Amerika Serikat menghasilkan film-film propaganda yang riang memerintahkan warga sipil bagaimana membangun tempat penampungan kejatuhan buatan sendiri, untuk melindungi diri pada saat terjadi perang nuklir.

D.    Analisis Propaganda Film “?” (Tanda Tanya)

·           Teknik Propaganda

1.  Name Calling, teknik memberikan label buruk pada sesuatu gagasan/orang/lembaga supaya sasaran tidak menyukai atau menolaknya.
     Dalam film Tanda Tanya ini tidak menggunakan teknik Name Calling yaitu yang tujuannya menjatuhkan film lain.

2.  Glittering Generality, teknik menghubungkan sesuatu dengan ‘kata yang baik’ dipakai untuk membuat sasaran menerima dan menyetujui sesuatu tanpa memeriksa bukti-bukti.
     Teknik Glittering Generality digunakan dalam film Tanda Tanya ini, yang mempropaganda memberi tanda bahwa pemakaian kata yang halus untuk umat beragama lain lebih baik daripada pemakaian kata “teroris” dan “asu”

3.  Transfer, teknik membawa otoritas, dukungan, gengsi dari sesuatu yang dihargai dan disanjung kepada sesuatu yang lain agar sesuatu yang lain itu lebih dapat diterima.
     Teknik Transfer  juga digunakan dalam propaganda film ini, membawa otoritas, dukungan, gengsi dari agama non-islam agar islam dapat diterima dengan menghapuskan title “teroris”

4. Testimony (kesaksian), teknik memberi kesempatan pada orang-orang yang mengagumi atau membenci untuk mengatakan bahwa sebuah gagasan atau program atau produk atau seseorang itu baik atau buruk.
     Teknik Testimoni digunakan juga dalam film ini, adegan Ping Hen (Rio Dewanto) yang awalnya sensitif terhadap keberadaan orang islam di lingkungannya dan kerap memanggil para santri “teroris”, juga sebaliknya protesnya orang islam yang di pimpin oleh Sholeh (Reza Rahardian) atas tindakan Ping Hen (Rio Dewanto) yang membuka restorannya hari ke-2 setelah lebaran dan menyajikan babi sebagai sajian menu utamanya, lalu adegan setelah kematian Sholeh penyelamat umat katolik, juga sebagian umat Budha di gereja diberikan penghargaan dengan menamai pasar di lingkungan mereka dengan nama “Pasar Sholeh” dengan lambing Banser NU. Kebencian Ping Hen terhadap umat islam merupakan testimoni, tindakan protes umat islam terhadap Pinghen, lalu kekaguman seluruh warga di lingkungan itu dari mulai agama Islam, Kristen, dan Budha, terhadap Sang Penyelamat Sholeh (Reza Rahardian).

5. Plain Folks, teknik propaganda yang dipakai pembicara propaganda dalam upaya meyakinkan sasaran bahwa dia dan gagasan-gagasannya adalah bagus karena mereka adalah bagian dari ‘rakyat’.
     Yang dimaksud pembicara propaganda di sini adalah propagandis, dalam film ini banyak pihak yang menjadi propagandis, dari mulai Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) yang selalu menasehati anaknya Ping Hen harus menghargai keberadaan agama lain, terutama islam yang selama ini dinilai negatif, Surya (Agus Kuncoro) yang tetap toleran mengambil peran Jesus walaupun dia beragama islam yang diberi masukan oleh pa ustadz bahwa tidak apa-apa dia masuk gereja dan mengikuti teater gereja untuk hari besar memerankan Jesus, selama hati kita tidak memasuki area tersebut itu sah-sah saja karena hanya tubuh kita yang berada di sana bukan hati kita.

6. Card Staking, meliputi pemilihan dan pemanfaatan fakta atau kebohongan, ilustrasi atau penyimpangan, dan pernyataan-pernyataan logis atau tidak logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada suatu gagasan, program, orang, atau produk. Teknik ini memilih argument atau bukti yang mendukung sebuah posisi dan mengabaikan hal-hal yang mendukung posisi itu. Argument-argumen yang dipilih bisa benar atau salah.
     Pemilihan dan Pemanfaatan fakta dalam film ini adalah fakta pemberian julukan “teroris” terhadap umat islam di mata orang-orang non-Islam, dan pemberian julukan “murtad” untuk yang menkhianati Allah di mata umat Islam, yaitu Rika (Enditha) yang tadinya dia beragama Islam tetapi masuk ke Katolik karena pengkhianatan suaminya.

7. Bandwagon, teknik ini digunakan dalam rangka meyakinkan kepada sasaran bahwa semua anggota suatu kelompok (di mana sasaran menjadi anggotanya) menerima programnya, dan oleh karena itu sasaran harus mengikuti kelompok dan segera menggabungkan diri pada kelompok.
     Teknik Bandwagon ini terjadi pada saat adegan Ping Hen (Rio Dewanto) yang memberikan aturan baru kepada karyawannya untuk masuk kerja pada hari ke-2 lebaran, sedangkan ayahnya Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) yang sedang sakit memiliki peraturan yang jauh berbeda dengan Ping Hen, ayahnya yang lebih toleran sedangkan Ping Hen yang otoriter begitu tidak menghargai karyawannya yang beragama berbeda-beda.

(disadur dari buku The Fine Art of Prapaganda, Alfred McClung Lee & Alizabeth Briant Lee, 1939)

·                Opini

            Film dan media-media memang tidak terlepas dari unsur propaganda untuk kepentingan tertentu. Propaganda dan media massa memang tak bisa terpisahkan, lewat media massa inilah kemudian propaganda bisa terlaksana dengan baik terlepas itu oleh media audio, visual, ataupun audio visual.
            Media massa memang memiliki pengaruh yang sangat sentral dalam pembentukan opini publik sehingga dalam hal ini informasi yang diberikan dapat mempengaruhi keadaan komunikasi sosial pada masyarakat. Masyrakat yang tidak tahu apa-apa banyak yang menelan mentah-mentah berbagai informasi yang diberitakan pada sebuah media, padahal di sisi lain berita tersebut ada kemungkinan memiliki ketimpangan yang harus diverifikasi.
         Berbagai informasi yang kemudian masuk tanpa mengindahkan sisi objektivitas itulah yang kemudian menjadi permasalahan. Propaganda yang tak berimbang tentunya memiliki kepentingan-kepntingan yang biasanya berkenaan dengan kepentingan politik, bertujuan untuk menjatuhkan figur atau tokoh-tokoh tertentu dan berusaha menaikan pamor tokoh tertentu.
Film ini bagus, alurnya tidak membosankan, pembawaan cerita yang tidak membuat kita bosan atau biasa, maksud film ini hebat, mulia, membelajarkan umat beragama Indonesia untuk bertoleransi, klimaks yang diatur sedemekian rupa.
       Maksud yang sebenarnya ingin disampaikan memang sulit dimaknai, karena pada dasarnya jika kita telaah dari awal film ini merupakan propaganda pembersihan title “teroris” bagi umat Islam.
           Cerita secara keseluruhan juga sangat penuh arti dan makna tanpa kesan menggurui.  Semua karakter secara gamblang digambarkan apa-apa yg terjadi di dalam hidup mereka dan perubahan dalam diri mereka pun dicoba untuk ditayangakan dengan cara yg sederhana.
            Mengapa harus banyak kontroversi, karena seperti apa kata-kata yang saya kutip dari penggalan dialog yang saya rasa istemewa di telinga saya, bahwa “Tidak ada dalam sejarah kerusakan iman, karena pementasan suatu adegan”, memang benar kata-kata tersebut iman kita itu kita sendiri yang menjalankan dan mengendalikan. Masalah itu dosa atau tidak Allahlah yang akan menilai, manusia hanya bisa berkata itu benar atau salah, bukan dosa atau tidak karena penilaian adil itu hanya Allah lah yang memiliki kewenangan sepenuhnya.
 Media memang menjadi alat Propaganda yang efektif untuk menghasilkan dan membentuk pemikiran dan pola piker masyrakat. Maka, propaganda pun dengan demikian terkait erat dengan salah satu teori dalam komunikasi yakni, teori agenda setting.

 Dengan agenda setting ini media dengan sepihak menampilkan dan memberikan asupan informasi kepada publik karena mengangap hal tersebut penting oleh media massa. Sebagai contohnya ketika media massa dipergunakan pemerintah di AS (Amerika Serikat) dalam memprogandakan peperangan. Pada dasarnya masyarakat AS menentang dengan keras peperangan yang di usung pemerintah, namun dengan media AS kemudian memberikan Propagandanya bahwa peperangan adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menghasilkan kedamaian.

            Melalui propaganda seperti itu kemudian pola pemikiran masyarakat pun berubah dan mendukung peperangan, bahkan tak sedikit yang rela menyumbang untuk kepentingan tersebut terlepas dengan menggunakan berbagai teknik yang ada pada Propaganda.


Kesimpulan
            Film ini merupakan pencerahan sebagai pembuka toleransi umat beragama untuk saling tetap menjaga, menghargai, menghormati batasan-batasan yang menjulang diantara keyakinan dan kepercayaan yang kita pegang.
           Namun makna-makna yang tersirat dan sulit dipahami pada dasarnya, film ini merupakan Propaganda pembersihan title “teroris” bagi umat Islam di mata agama lain.
            Teknik Propaganda yang digunakan dalam film ini adalah Glittering Generality, Transfer, Testimony, Plain Folks, Card Staking, Bandwagon.
            Antusiasme penonton pun cukup meriah menanggapi adanya film tersebut.




Sumber: 
http://filmtandatanya.com/cast-crew/
oase.kompas.com/read/.../Film.Tanda.Tanya.Dikecam.Banser.NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar